Nama ku Risti Pratiwi alias Tiwi,
tapi nggak banyak yang mengenalku dengan nama itu. Palingan yang tahu nama itu
hanya teman-teman sekelas ku atau teman-teman dekatku yang menganggap diriku
sahabat mereka. Aku lebih terkenal dengan nama mini. Nama itu melekat sejak
masih berstatus mahasiswa baru, diberi oleh senior sejurusanku karena tubuh ku
yang kecil.
Aku
kuliah di salah satu universitas yang nggak tenar-tenar amat, dimana kaum
wanita merupakan kaum minoritas. Menjadi kaum minoritas ternyata nggak
jelek-jelek amat, hampir semua akan mudah bagimu karena kaum mayoritas atau
para lelaki tidak akan meninggalkan mu dalam keadaan susah, segalanya akan
terasa mudah karena wanita menjadi langkah dan sangat dibutuhkan katanya.
Tidak
seperti hari-hari sebelumnya, kampus hari ini ramai dan sesak dengan mahasiswa
yang hilir mudik tidak jelas kepentingannya di depan kantor jurusan. Seolah
melihat ada pembagian raskin di kampus pikirku, saat hampir seluruh mahasiswa
bergerombol tepat di depan kantor jurusan. Bedanya kalau raskin kebanyakan akan
membawa kantongan plastik dan sejenisnya sementara mahasiswa-mahasiswa ini
membawa map di tangannya.
“apa
diurus ini kah?” tanya ku ke Nanda salah seorang mahasiswa yang juga berada
diantara gerombolan mahasiswa itu.
“beasiswa,
tidak urus ko?” jawabnya “kukira tinggi ji jg IPK mu”
“beasiswa
apa?”
“update
ki ibu, beasiswa dari diknas” kata Nanda “duluan ka nah, mauka minta tanda
tangannya ketua jurusan” lanjutnya seraya meninggalkan ku
Ternyata
mahasiswa-mahasiswa ini sedang berlomba-lomba mengurus beaiswa diknas yang
kalau dapat lumayan buat tambahan uang jajan atau kalau kamu termasuk anak yang
berbakti ke orang tua, beasiswa ini cukup buat biaya kuliah mu selama dua
semester di kampus ku.
Aku,
yang juga tidak mau ketinggalan kesempatan mendapat uang Cuma-Cuma, mulai
mencari tahu pensyaratan dan apa-apa yang diperlukan untuk mendapatkan
beasiswa. Karena punya link di jurusan dengan mudah info ku dapatkan dan mulai
melengkapi berkas dan tentunya dengan bantuan orang dalam. Hanya butuh waktu
sekitar satu jam berkas ku lengkap dan segera kumasukkan ke kantor jurusan dan
lebih cepat dibandingkan temanku yang sejak tadi mengurus, Nanda.
Ternyata,
bahkan dalam lingkup kecil pun KKN masih saja terjadi mau ataupun tidak mau.
Seperti diriku yang lebih mudah mengurus segala sesuatu di Jurusan karena
kebetulan Paman ku bekerja sebagai salah seorang staf dan mendapatkan perlakuan
yang lebih istimewadari mahasiswa lain di kampus. Karena nya tak heran kalau
teman-teman iri dengan ku, untungnya diriku tidak sombong dan supel dengan
orang kampus jadi sedikit banyak mereka tidak begitu mempermasalahkan perlakuan
istimewa terhadapku.
“Urus ko juga?” tanya seorang
mahasiswa yang juga teman sekelasku Indra
“iyah, kenapa memang?” jawabku
“tidak dapat meki lagi sedeng,
jatahnya untuk 3 orang ji!”
“trus?”jawabannya membuatku
bingung
“iya, anak staf ada tiga orang.
Semuanya urus beasiswa. Pastimi dapat, kamu jg”
“sorry nah, ndg diuruskan ka
saya. Urus sendiri bro”
“biar itu tapi kalo dilihat
namamu di berkas pasti dikasikan ko!”
Jengkel mendengar pernyataannya
saya pergi meninggalkan gerombolan tersebut.
Memang
benar ada banyak ketidakadilan yang terjadi dikampus, perbedaan antara yang
berkuasa dan yang tidak sangat jelas. Satu hal mungkin yang bisa membuat dirimu
yang orang biasa menjadi wah dimata birokrasi adalah saat menjadi yang
terpintar diantara semuanya atau eksis sebagai aktivis mahasiswa atau menjadi
orang yang paling bermasalah dengan birokrasi.
Apa yang
kukatakan di atas terbukti, sebulan setelah mengurus beasiswa seperti kata
Indra yang pasti lolos itu hanya anak staf dan tebakannya tepat. Saya, dan dua
anak lainnya yang juga punya link lolos mendapatkan beasiswa itu. Saya hanya
bisa menyembunyikan dari teman-teman yang didukung oleh penguman yang bersifat
rahasia pula karena didasari rasa tidak nyaman dengan teman-teman yang bersusah
payah mengurus.
Entahlah,
memang menyenangkan mendapatkan sesuatu yang diinginkan dengan mudah dan tak
perlu bersusah payah meskipun berada pada posisi sebagai pelaku ketidakadilan
meski tidak secara langsung tetapi ada sesuatu yang mengganjal saat apa yang
kita lakukan tidak sesuai atau sebanding dengan pengorbanan. Bagi seseorang
yang selalunya bersenang-senang, tak jadi masalah bagaimana cara memperolehnya
yang penting saya dapat, tapi tidak kah seharusnya kita memikirkan bahwa ada
yang lebih berhak dengan apa yang kita peroleh. Ataukah tidak kah kita berpikir
bahwa apa yang diperoleh saat ini adalah hak orang lain yang berarti kita sama
saja dnegan mencuri, apa bedanya kita dengan koruptor?. Keadaan seperti ini
yang membuat ku seolah-olah bersenang-senang diatas penderitaan orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar